Sabtu, 28 Desember 2013

Cerpenku

UNAS


Sang surya merayap dari ufuk timur. Menyambut libur pagiku ini yang tak sama dengan liburanku di semester lalu. Biasanya aku harus bangun pagi sekali dengan menggembol rasa kantukku yang bergelayunan dalam gayung kamar mandi. Apalagi kalau esoknya aku harus menanti tugas-tugas yang banyak dari guruku. Namun, sekarang rasanya sukma ini merampas semua kepenatan yang pelik nan lusuh itu, setelah aku melewati 4 hari yang kelabu bersama beberapa kertas dokumen negara. Yang mungkin kata orang-orang itu hanya sebagai syarat formal dalam menentukan kelulusanku tahun ini.
Le, iki ibuk wes nggawe sego goreng. Njupuk’o dewe yo lee, ibuk tak adus sek. Ojok lali adikmu jpukno pisan..
Injih ibuk’e..
Kali ini sepiring nasi goreng dengan ditemani telor ceplok menemani santap pagiku. Terasa begitu nikmat setiap pucuk sendoknya yang aku telan secara perlahan. Segelas teh hangat manis pun menambah kenikmatan santap pagiku pagi ini.
Sudah seminggu ini aku liburan di rumah kecilku. Menikmati setiap detik, menit, maupun jamnya. Walaupun agak sedikit lega, namun rasa was-was masih menyelimutiku. Wajar sajalah, sukma ini masih menerka-nerka angka berapa yang akan timbul dalam ijazahku besok. Apa tulisan lulus atau tidak lulus yang aku terima sabtu depan. Liburan kali ini aku isi dengan agenda main. Bagaimana tidak, pagi-pagi sudah bersandar pada sofa tua. Bahkan, sofa itu lebih tua umurnya dari pada aku. Acara musik dahsyat tak pernah terlewatkan dari kedua bola mataku. Menjelang siang aku isi dengan kegiatan tidur, dan sorenya aku isi dengan kegiatan sepak bola. Saat itu ramai-ramainya anak yang bermain sepak bola. Lapangan seolah tak keliatan ketika belasan bahkan puluhan anak sedang menggiring bola. Tapi entah, sekarang tak satu pun aku melihat seseorang yang menendang bola di lautan hijau itu. Dulu saja jika adzan magrib tak berkumandang mungkin permainan ini bisa lanjut sampai besok pagi.
Sabtu pagi. Pagi ini aku bangun sekitar jam 5’an lah, kali ini aku punya alasan kenapa aku bangun pagi sekali. Mengapa tidak, hari ini kan waktunya pengumuman hasil ujianku. Aku tak sabar menanti hasil usahaku selama ini. Aku pun bergegas menuju kamar mandi.
Le, kowe sarapan karo opo? Ibuk tumbasno pecel nang ngarep tah?
Mbten buk, kulo sarapan mangke mawon. Mangke sing teko rapat sinten buk?
Oalah, kowe kesusu amarga iku tah? Yo paling bapakmu le..
Eembb, engge sampun buk. Assalamualaikum...Kulo bidal sekolah buk..
Tepat jam 7 kurang 15 menit, langkah kakiku meniti jalan setapak yang agak becek pada saat itu. Yah, karena kemarin air mata tuhan telah tumpah ruah membasahi desaku ini. Sesampainya tepat di depan gerbang sekolah perasaan dag-dig-dug mulai menghampiriku lagi. Apalagi saat menginjak depan kelas, rasanya badanku seperti panas dingin. Pikiranku pun mulai bingung. Berharap untuk cepat-cepat melihat hasil ujianku. Sesekali perasaanku ini aku hiraukan dengan menyantap gorengan pak ran, gorengan ini terasa nikmat. Aku tak tau kenapa gorengan ini terasa nikmat. Apa baru saja di goreng atau gara-gara perasaan cemasku kali ini.
Jarum panjang jam menunjukkan arah 12 dan jarum pendeknya mengarah tepat angka 9. Satu demi satu orang tua siswa kelas 3 datang, begitu juga dengan ayahku. Dengan tampilan necis kemeja kotak-kotak warna krem ala hem orang jadul melekat di tubuhnya, rambut yang mulai ubanan, dan sepatu pantofel hitam menemani langkinya menuju ruang kelasku.
Sekitar 1 jam’an lebih, akhirnya ayahku keluar.
Le, alhamdulillah kamu lulus..
Sorak-sorai tak bisa aku tahan lagi, perasaan gembira jelas-jelas terlukis di wajahku dan ayahku. Begitu juga dengan teman-temanku yang lain. Alhamdulillah, SMP-ku tahun ini lulus 100%. Bergegas aku dan ayahku pulang.
Piye le? Lulus tah kowe?
Alhamdulillah, lulus buk..
Alhamdulillah le.. yowes berarti saiki gari mikiri bijine sing gawe daftar nang SMA yo le?
Injih buk, mugi-mugi bijine nggeh apik..
Saat itu adalah hari terindah buatku, terbesit dalam benakku bahwa aku sudah sedikit buat kedua orang tuaku gembira.
Kamis pagi.
Assalamualaikum buk, kulo berangkat sekolah rumiyen pak, buk..
Nggeh le, ati” nggeh..
Injih..
Satu per satu ibu guru memanggili siswa untuk menemuinya dan membagikan nilai hasil UN. Sampai..
Noviansyah, ini le hasil nilai ujianmu.
Injih buk, matur nuwun. Sempat terbesit perasaan senang menyelimutiku. Namun, nilaiku ini lebih rendah daripada sahabat-sahabatku.
Nov..berapa nilaimu?”tanya ayu.
35.80 yu, kalo kamu berapa?
37.95.
Aku membalasnya dengan senyum kecut dan diiringi dengan perasaan kecewa.
Piro le danemmu?
35.80 buk,
Loalah lee, lah kok mek titik?
Yowes buk,lee..mboten nopo-nopo. Wes di syukuri aeh..
Sepurane sing katah nggeh pak buk, kulo mboten saget maringi nilai sing apik..
Semenjak peristiwa tersebut, terbesit dalam benakku bahwa aku tak boleh kalah untuk kedua kalinya. Motivasi kedua orang tuaku kujadikan prinsip dalam melangkah. Hingga suatu saat niatanku itu menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Ku tebus semua hasil kurang memuaskanku itu dengan diterimanya aku di Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya.
Teman-teman? Entah, mungkin hilang ditelan hura-hura semasa SMP dulu. Dan aku tak memperdulikannya.


Cerpenku

Kehadiran Malaikat Kecil

Terik mentari seketika menyeruak, seolah mengetuk pelan-pelan di arah depan tepatnya jendela kamarku. Memang tampak menyilaukan awalnya, namun perlahan kedua bola mataku merangkak terbelalak.
“selamat pagi, sayang?”
Kata pertama yang terucap dari seorang perempuan berkulit putih, berhidung agak pesek, dan tentu saja berbibir mungil. Tapi di balik bibir mungil itu sebenarnya dia orangnya cerewet banget. Disambutnya aku dengan senyum agak sedikit kecut sih, maklum sajalah karena kami semalam habis bergulat dan menikmati romantika cinta yang tuhan berikan. Di genggamnya secangkir susu hangat dan roti bakar kesukaan kita berdua.
“selamat pagi juga, sayang..”
“ini mas, udah aku buatkan susu hangat kesukaanmu..”
“hmm..makasih yah sayang?!!”
Kunikmati satu demi satu tetes susu hangat buatan istriku. Separuh susu yang tersisa aku berhenti sejenak. Ku pandangi dan ku belai rambutnya. Aku mendekat dan ku kecup keningnya. Dan aku pun berkata..
“I love you, sayang..”
“I love you too, sayang..”
Setelah kami bermanja-manja sebentar tadi aku pun bergegas ke kamar mandi. Ku basuh mukaku dengan sabun nivea yang baru aku beli awal bulan kemarin. Setelah itu, aku mengajaknya untuk berkeliling komplek pagi ini. Yah, hitung-hitung untuk lebih mengenal tetangga sekitar. Rutinitas seperti ini biasa kami lakukan pada saat weekend. Maklum, aku dan dia juga setiap hari sibuk dengan kerjanya masing-masing. Tetangga sekitar tampak ramah, dan selalu mengasihkan senyumnya pada kita. Ekspresi gembira sesekali timbul malu-malu dari wajah kita berdua. Mungkin karena kita pasangan pengantin yang baru menikah satu bulan yang lalu. Saat ini kami tinggal di Surabaya. Kota yang penat, kota yang tak serindang awal mula pemberontakan bung tomo. Di rumah sederhana, namun bermotif minimalis dengan sedikit diberi hiasan alam yaitu taman mini yang berada di halaman depan.
Canda gurau menyelimuti jalan-jalan kita pagi ini. Sesampainya kembali ke rumah, aku bergegas menuju kamar mandi. Ia pun aku suruh untuk segera mandi. Aku sudah tak sabar ingin memasak bareng dengannya. Pagi ini kami akan memasak sayur asam, ditemani bakwan goreng rasa cinta julukanku.
“dik, ayok cepat mandi. Habis ini kita masak bareng ya?”
“hehehe..iyah mas. Masnya udah laper banget yah?”
“hehe, iyah dik. Laper banget mas gara-gara jalan tadi.”
“halah mas-mas, baru jalan-jalan begitu ajah sudah capek. Tapi waktu bercinta semalam kamu kuat beberapa ronde untuk mengalahkan aku?’’
“uuussstt..udah ayok cepat mandi dek!?”
Dan ia pun menuju kamar mandi. Kami selalu melewati setiap weekend dengan kegiatan seperti ini. Bersenang-senang dengan istri, dan memasak bersama.
Hampir setahun aku lalui hari-hariku bersamanya. Namun, ada suatu minggu yang membuatnya nampak murung. Entah murung karena sakit atau gimana aku pun tak tahu. Dia seringkali ke kamar mandi. Dia terkadang juga mual-mual.
“kenapa kamu, dik?”
“ndak apa-apa kok, mas. Palingan cuman masuk angin biasa.”
“ahh, yang benar?? Ayok aku anter ke dokter yuk?”
Tanpa berpikir panjang aku membawanya ke rumah sakit. Aku bawa ia ke rumah sakit darmo. Saat itu cuaca sedang terik. Belum lagi macetnya surabaya yang membuatku agak sedikit kesal. Ku parkirkan mobilku, dan segera aku daftar untuk mengantri no urut pemeriksaan. Tibalah no antriku..
“124, nyonya lia. Silahkan masuk..”
“selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”
“gini dok, istri saya semingguan ini mual-mual.”
“baiklah, mari buk saya periksa.”
10 menit ia berbaring dalam ranjang komersil sang dokter. Sekembalinya ke meja konsultasi dokter pun berkata..
“selamat pak, istri bapak mengandung.”

Alangkah bahagianya aku dan istriku mendengar berita tersebut. Yah, lumayan lama kami berharap segera mendapatkan momongan. Kami pun segera pulang dan mengabari orang tuaku dan orang tua istriku. Rupanya ini adalah kado terindah yang tuhan berikan untuk orang tua kita berdua.

Kamis, 19 Desember 2013

Cerpenku

Kisah Cinta Kikil Mbok Yem (KICIKIMY)



Mentari berjalan menyusuri tapak beraspal, berjalan santai untuk bersembunyi dibalik ilalang. Saat itu aku pulang kuliah, dan mampir ke sebuah gubuk kecil, gubuk kecil milik mbok yem. Dalam gubuk kecil itu terjejer  botol-botol kaca pelepas dahaga, tikar kecil menjadi alas dudukku, lampunya pun tak begitu terik, dan dinding-dinding rapuh melukiskan kisah sejarah gubuk kecil tersebut. Walaupun gubuk itu tidak terlalu besar, namun nasabah setia mbok yem rela mengantri secangkuk kecil kikil bercitra rasa restauran.
Saat itu aku memesan 1 kikil istimewa, yah lumayan lama aku harus menunggu. Pantas saja waktu aku datang tepat jam 5 sore. Tepat ramai-ramainya nasabah mbok yem berebut rasa dari kikilnya. Disela-sela waktu menunggu, tak sengaja aku melihat sosok gadis cantik melamun tepat disudut pojok gubuk kecil ini. Perlahan-lahan aku coba untuk mendekati dan menyebelahinya. Tampak gadis cantik itu meluberkan batinnya lewat kedua bola matanya. Secuil perasaan gundah merubah dan membasahi pelupuk matanya. Bibir tipisnya seperti indahnya lekuk bunga jasmin di padang safana tampak tidak bisa berbohong bahwa dirinya sedang ada masalah. Dengan tekad kuat aku memberanikan diri untuk bertanya namanya, sebut saja sania. Seorang mahasiswi ITB semester 5.
Aku bertanya, “kenapa kamu menangis,san?”
“Aku sedang banyak masalah jun, aku pusing dengan hidupku seperti ini.”jawab sania.
Aku bertanya lagi, “memang kenapa, ceritakan saja padaku, mungkin saja aku bisa membantu?!”.
“jadi beginiluh jun, aku sekarang lagi banyak tugas terus parahnya kemarin orang tuaku juga lagi sakit parah”. Jabarnya
“eembb, cup cupp... sudahlah jangan menangis. Manusia memang di takdirkan untuk menerima dan berusaha mengatasi permasalahan yang sedang ia alami”. Jawabku
“ iyah sih jun, tapi aku tak biasa dengan permasalahan yang seperti ini”. Rintihnya
Kemudian disela-sela aku berbicara datanglah mbok yem dengan pesanan kikilku,
“ini jun kikilmu, ini mbak’e kikil.e sampean..”kata mbok yem.
“makasih mbok yem, oh yah sama es teh 2 yah mbok?”pintaku.
Mbok yem pun kembali ke bilik dapur, dan kami pun kembali berbincang-bincang. Kami mengobrol dengan asyik-asyiknya. Cukup lama kami ngobrol akhirnya sampai aku menamati secuil senyum manis dari gadis ini. Sungguh senang batinku ketika bisa membuat gadis ini tersenyum.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 6 kurang 15 menit, saatnya aku shalat magrib. Dia pun juga mau bergegas pulang, katanya sih mau ngerjakan tugas kuliahnya. Tanpa berpikir lama-lama kami pun berpamitan pulang. Keluar dari masjid, saya pun sempat duduk melamun. Memandangi arah taman depan masjid, yang begitu indah. Di kelilingi bunga-bunga mawar, dan disempurnakan dengan sebuah kolam ikan. Tanpa ku sadari bahwa aku sedang memikirkan gadis cantik tadi. Tersadarlah aku jika tadi aku lupa tak menanyai alamat rumah dan no hpnya.
Namun, jika tuhan memang menyuratkan hatinya untukku suatu saat kita pasti bertemu kembali. Dan aku pun meyakini itu. Sania, dibalik parasmu aku melihat bahwa kau sosok yang tangguh. Melawan kerasnya kehidupan dengan satu senyuman dan tangisan kesahmu.




Puisiku

Bimbang



Matikku berdering
mengaung di sepanjang jalanan
meski terik berdiri menyelimutiku
namun terus ku pacu

Matikku terus berdering
bersetubuh dengan aspal menganga
sambil kunikmati setiap kerinduan
yang tercecer di jalanan

Dan matikku kini terdiam
bersandar di atas lapang sunyi
menelusuri arti kata sayang
di tengah kehampaan yang melanda


Puisiku


Caem


Mungkin itu dulu,
Sekarang tersapu benih ego
Mencampakkan semua yang ada
Hingga kau tebah hati ini
Seolah seperti mainan anak ingusan
Dan semuanya tinggal kenangan semu saja..