A.
Pendahuluan
Pada kehidupan ini banyak terdapat tanda-tanda yang
melatarbelakangi sesuatu kejadian atau masalah yang ada. Tanda-tanda tersebut
berhubungan dengan semiotik, semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan
manusia. Tanda merupakan sesuatu yang dapat mewakili ide, pikiran, perasaan,
benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Lambang merupakan sesuatu yang
menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara ilmiah dan
langsung. Menurut Martinet (2010:46) ada beberapa tanda yang ditemukan orang,
dan ada beberapa tanda lain yang memang dibikin. Kedua jenis tanda itu
sama-sama bisa mempengaruhi perilaku manusia.
Dibalik tanda-tanda maupun lambang terdapat nilai-nilai
estetika yang memperkuat dan memperindah objek-objek tersebut. Nilai-nilai
keindahan pasti ada pada setiap objek. Tanpa sadar kita setiap hari dapat
menjumpai karya-karya yang memiliki keindahan misalnya karya seni pada lukisan,
foto, film dan lain sebagainya. Keindahan karya tersebut sangat berpengaruh
terhadap seberapa karya tersebut dihargai oleh penikmat karyanya. Menurut Noth
(2006:429) menyatakan bahwa semula estetika merupakan kajian tentang keindahan
karya seni dan keindahan alam. Untuk
mengetahui estetika pada suatu objek, perlu perlibatan panca indera yaitu
penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan pengecap. Estetika tersebut berhubungan
dengan komunikasi visual. Komunikasi visual merupakan komunikasi yang
menggunakan bahasa visual. Visual merupakan objek yang dapat dilihat oleh
indera penglihatan. Komunikasi itu sendiri merupakan alat interaksi antara satu
dengan yang lainnya. Bahasa visual tersebut menjadi alat menyampaikan
komunikasi yaitu segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk
menyampaikan arti, makna, atau pesan. Komunikasi
visual, diasosiasikan dengan musik, fotografi, lukisan, arsitektur, objek,
citra, film, komik, dan iklan.
1. Estetika
Estetika adalah cabang dari ilmu
filsafat yang mempelajari tentang keindahan suatu seni, atau seringkali ahli
menyebutnya sebagai ilmu yang menggabungkan antara pengetahuan dengan filsafat.
Kata estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu aisthetika yang berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera.
Oleh karena itu, estetika sendiri seringkali diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception). Baumgarten (dalam
Noth, 2006:5) mengatakan sistem estetika
teoritis juga mempostulatkan cabang semiotik sebagai cabang kajian yang berkaitan
dengan sesuatu yang dapat dipahami dan disusun secara indah. Artinya, estetika
sendiri sangat berkaitan dengan semiotika walaupun tanpa suatu pengesahan yang
kongkret tentang sesuatu seni tersebut namun bila sesuatu tersebut dapat
dipahami dan dinikmati oleh pancaindera maka hal tersebut bisa dikatakan
estetika.
Menurut Noth (2006:429) menyatakan bahwa semula estetika merupakan kajian tentang keindahan karya seni dan keindahan alam. Pendekatan-pendekatan semiotik terhadap estetika menganggap karya seni sebagai tanda dan teks. Estetika semiotik telah menginterpretasikan kembali prinsip-prinsip ini dalam kaitanya dengan semantik dan pragmatik.
Maka, dalam hal ini estetika dipandang sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pada kegiatan pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan panca indera, yaitu (1) mata sebagai indera penglihatan, (2) hidung sebagai indera penciuman, (3) telinga sebagai indera pendengaran, (4) lidah sebagai indera pengecap, dan (5) kulit sebagai indera peraba. Sebagai contoh, dalam mengamati suatu karya seni, kita menggunakan kelima indera tersebut untuk mendapatkan kesan yang ditimbulkan dari karya seni yang diamati, baik itu kesan warna, ruang, tekstur, dan sebagainya. Setelah kita mendapatkan kesan dari karya seni yang telah diamati, maka kita dapat merasakan unsur keindahan yang terdapat pada karya seni tersebut. Keindahan bersifat relatif bergantung pada selera atau cita rasa masing-masing individu. Selera atau cita rasa yang dimaksud adalah kecenderungan menyukai sesuatu atau hal-hal yang pernah dialami.
Berbeda dengan pendapat Baumgarten yang menemukan istilah estetika dari bahasa yunani, ‘persepsi (tanggapan langsung) dengan indra’, agar dapat menunjukkan gagasannya tentang “ilmu kognisi (proses memperoleh pengetahuan) perseptual (tajam)’ Baumgarten (Noth,2006:429). Jadi, estetika Baumgarten merupakan estetika yang memerlukan pemahaman secara mendalam dari tanggapan indra kita. Sehingga, kita mudah untuk memahami dan mengetahui nilai-nilai keindahan didalamnya.
Keindahan atau estetika terdapat pada keindahan alam dan seni. Estetika semakin menjadi kajian terhadap objek-objek seni, yang mengabaikan objek-objek estetika alam (Noth,2006:430). Jadi, estetika tersebut sekarang jarang menggunakan objek alam sebagai bahan kajiannya melainkan, sudah menggunakan karya-karya seni yang fiksi berimajinatif.
Menurut Noth (2006:429) menyatakan bahwa semula estetika merupakan kajian tentang keindahan karya seni dan keindahan alam. Pendekatan-pendekatan semiotik terhadap estetika menganggap karya seni sebagai tanda dan teks. Estetika semiotik telah menginterpretasikan kembali prinsip-prinsip ini dalam kaitanya dengan semantik dan pragmatik.
Maka, dalam hal ini estetika dipandang sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pada kegiatan pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan panca indera, yaitu (1) mata sebagai indera penglihatan, (2) hidung sebagai indera penciuman, (3) telinga sebagai indera pendengaran, (4) lidah sebagai indera pengecap, dan (5) kulit sebagai indera peraba. Sebagai contoh, dalam mengamati suatu karya seni, kita menggunakan kelima indera tersebut untuk mendapatkan kesan yang ditimbulkan dari karya seni yang diamati, baik itu kesan warna, ruang, tekstur, dan sebagainya. Setelah kita mendapatkan kesan dari karya seni yang telah diamati, maka kita dapat merasakan unsur keindahan yang terdapat pada karya seni tersebut. Keindahan bersifat relatif bergantung pada selera atau cita rasa masing-masing individu. Selera atau cita rasa yang dimaksud adalah kecenderungan menyukai sesuatu atau hal-hal yang pernah dialami.
Berbeda dengan pendapat Baumgarten yang menemukan istilah estetika dari bahasa yunani, ‘persepsi (tanggapan langsung) dengan indra’, agar dapat menunjukkan gagasannya tentang “ilmu kognisi (proses memperoleh pengetahuan) perseptual (tajam)’ Baumgarten (Noth,2006:429). Jadi, estetika Baumgarten merupakan estetika yang memerlukan pemahaman secara mendalam dari tanggapan indra kita. Sehingga, kita mudah untuk memahami dan mengetahui nilai-nilai keindahan didalamnya.
Keindahan atau estetika terdapat pada keindahan alam dan seni. Estetika semakin menjadi kajian terhadap objek-objek seni, yang mengabaikan objek-objek estetika alam (Noth,2006:430). Jadi, estetika tersebut sekarang jarang menggunakan objek alam sebagai bahan kajiannya melainkan, sudah menggunakan karya-karya seni yang fiksi berimajinatif.
1.1 Musik
Pada
dasarnya pengertian musik sendiri masih sangat abstrak, atau dalam arti
penjelasan dari musik itu sendiri masih belum jelas. Secara sudut pandang
semiotika bahwa teks yang tertulis dalam penciptaan musik (lirik lagu) itu
merupakan ikon yang melambangkan kondisi perasaan maupun kejadian yang orang
lain atau pengarang musik alami. Kemudian, teks tersebut memang secara sengaja
diutarakan oleh penyanyi yang bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisis
karya musik sebagai suatu teks. Maka, kajian semiotika dalam karya musik
sendiri tidak bisa berdiri secara utuh tanpa bantuan semantik musik. Van Zoest
(dalam Alex Sobur, 2013:144) menambahkan tidak ada semiotika musik tanpa
semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, harus senantiasa membuktikan
hak kehadirannya. Meskipun peranan dari semantik musik sendiri tidak begitu
menonjol atau terkadang sulit menemukan isi tanggapan (denotatum) yang berada
dalam teks musik tersebut namun Van Zoest (dalam Alex Sobur, 2013:144)
mengutarakan terdapat tiga kemungkinan yaitu;
1) Menganggap
unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala neurofisiologis
pendengar.
2) Menganggap
gejala-gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala
struktural dunia penghayatan yang dikenal
3) Untuk
mencari denotatum musik kearah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan
musik lewat indeksikal.
Dengan
demikian, kajian semiotik terhadap musik tidak dapat berdiri secara individual
tanpa bantuan dari cabang linguistik lainnya. Musik sendiri memiliki genre yang sangat banyak, mulai dari
musik pop, rock, reggae, jazz, dan lain
sebagainya. Walaupun dalam genre musik
tersebut memiliki pengertian sendiri-sendiri namun pada hakikinya musik masih
cenderung dalam pengertian yang abstrak. Seperti musik pop, dia membawa
kekaburan sifat dari musik, artinya bahwa musik pop masih bersifat tidak jelas.
Fabio Dasilva (dalam Alex Sobur, 2013:145) menambahkan “music will be described but not defined”. Sehingga pemakalah
menarik kesimpulan bahwa tanda yang berada dalam musik seperti lirik, intonasi
penyanyi, intonasi dari musik itu sendiri tergolong dalam ikon. Seperti lagu
Ebith G Ade (berita kepada kawan), di mana Ebith membawakan lagu yang
berlatarbelakang tentang kesedihan melalui penekanan pada tiap-tiap bait
liriknya, kemudian di tambah alunan nada yang bersinkronisasi sesuai dengan apa
yang ingin Ebith utarakan lewat lagunya.
Ebith G Ade “Berita
Kepada Kawan”
Perjalanan ini
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap
kering rerumputan
Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecil
Menangis sedih ...
Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak
Kepada matahari
Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit
Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap
kering rerumputan
Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecil
Menangis sedih ...
Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak
Kepada matahari
Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit
Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang
1.2 Iklan
dan Objek
Merupakan
dua pembahasan yang saling berhubungan. Di mana suatu iklan tersebut tayang
pasti menggunakan maupun membawakan
objek yang akan dipromosikan. Alex Sobur (2013:116) mengatakan terdapat dua
media yang digunakan dalam iklan yaitu; (1) media cetak [surat kabar, majalah,
brosur, dan papan iklan (2) media elektronik [radio, televisi, film]. Dalam
iklan itu sendiri memiliki suatu sitem tanda di mana sistem tanda terdiri atas
lambang, baik berupa lambang verbal maupun ikon. Lambang sendiri terbagi
menjadi dua jenis yaitu; verbal dan nonverbal. Lambang verbal tertuju pada
ujaran bahasa yang seringkali kita gunakan dalam berbicara sehari-hari.
Sedangkan nonverbal lebih mengarah pada bentuk, dan warna yang tidak secara
khusus meniru rupa dari bentuk realitas sesungguhnya. Dalam pemilihan suatu
iklan juga memerlukan pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan layak atau
tidaknya iklan tersebut dapat di analisis. Berger (dalam Alex Sobur, 2013:117)
menambahkan ada beberapa pertimbangan yang hendaknya pembaca pertimbangkan
dalam menganalisis sebuah iklan, yaitu:
1) Penanda
dan petanda
2) Gambar,
indeks, dan simbol
3) Fenomena
sosiologi
4) Sifat
daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
5) Desain
dari iklan
6) Publikasi
yang ditemukan di dalam iklan.
Kemudian
setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut barulah kita dapat menginjak dalam
proses penganalisisan iklan. Cobley dan Jansz (dalam Alex Sobur, 2013:119)
mengatakan terdapat tiga pesan yang terkandung dalam iklan yaitu; (1) pesan
linguistik, maksudnya semua kata yang tertera dalam iklan tersebut memiliki
makna apa, (2) pesan ikonik yang terkodekan, maksudnya pesan konotasi yang
berada dalam foto atau gambar iklan tersebut, (3) pesan ikonik tak terkodekan,
maksudnya pesan denotasi yang tampak jelas dalam foto atau gambar pada iklan
tersebut.
Maka,
penulis menyimpulkan bahwa suatu iklan selalu hidup secara sinergi dengan
objek. Karena di mana suatu iklan tersebut ditampilkan maka di situlah juga
terdapat suatu objek yang dipertotonkan. Semisal iklan tolak angin versi
plesetan dari Jokowi, di mana pemroduksi iklan ingin menampilkan objek atau
bahan yang ingin di iklankan melalui sosok jokowi. Peranan tanda maupun simbol
secara linguistik berada pada tulisan “bersih, jujur, ojo dumeh”, kemudian
peranan tanda maupun simbol yang terkodekan berada pada pesan yang mengajak
penglihat iklan tersebut untuk membeli produk yang telah di iklankan tersebut.
dan yang terakhir tanda dan simbol yang tak terkodekan berada pada pesan lugas
sosok Jokowi yang ditampilkan dengan tampilan yang sederhana dalam masyarakat.
1.3 Film
Pada
dasarnya pengertian film merupakan alat untuk menyampaikan berbagai pesan
kepada khalayak melalui sebuah media cerita (Wibowo, 2006:196). Penulis sendiri
memberikan pengertian bahwa film adalah manifestasi dari realita kehidupan
walaupun kadangkalanya ada saja film yang terlalu menunjukkan unsur fiksinya
terlalu frontal. Maksudnya terkadang suatu film ada yang lebih menonjolkan
unsur imajinasinya yang di luar nalar. Van Zoest (dalam Alex Sobur, 2013:128)
menambahkan film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan.
Berbeda
dengan fotografis statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan
sistem penandaan. Artinya, dalam sebuah film selalu terdapat sistem tanda yang
menciptakan suatu imaji bagi penikmat film dan menciptakan suatu sistem yang
memberikan efek terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam jalannya film tersebut.
Dalam film sistem tanda yang dimaksud adalah gambar dan suara. Sobur (2013:128)
mengatakan yang penting dari film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan
(ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan
musik film.
Musik
film sendiri tergolong tanda ikonis, karena seumpama musik tersebut dijalankan
dari melandai hingga mengeras bahwa menunjukkan terdapat maksud dari pengarang
yang ingin menimbukan perasaan takut maupun ancaman terhadap suatu adegan
tertentu. Sardar & Loon (2013:130) berpendapat film juga sebetulnya tidak
jauh berbeda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasanya
sendiri dengan sintaksisnya dan tata bahasa yang berbeda. Sobur (2013:130)
menambahkan tata bahasa itu sendiri terdiri atas semacam unsur yang akrab,
seperti pemotongan (cut), pemotretan
jarak dekat (close-up), pemotretan
dua (two shot), pemotretan jarak jauh
(long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve),
gerakan lambat (slow motion), gerakan
yang dipercepat (speeded-up), dan
efek khusus (special effect). Sehingga,
pada dasarnya film melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik yang
bertujuan untuk mengimplisitkan suatu pesan yang ingin disampaikan.
Penulis
mengambil secuil contoh dari film “5cm”, di mana film ini mengisahkan tentang
masing-masing watak yang berbeda sifat, rasa tanggungjawab yang di emban setiap
tokohnya, kemudian pesan tersirat yang diambil dari film ini adalah bagaimana
caranya menyelesaikan kesuksesan sendiri terlebih dahulu kemudian bertemu
bersama dalam keadaan yang bahagia di setiap tokohnya.
1.4 Komik
Jika
menilisik keterkaitan semiotik dalam bidang seni sangatlah banyak, termasuk
dalam komik. Banyak sekali tanda maupun simbol yang terdapat dalam komik.
Karena pada hakikatnya komik sendiri jelas memiliki tanda-tanda visual dan
kata-kata. Setiawan (dalam Alex Sobur, 2013:137) menambahkan bahwa komik adalah
cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada
umumnya mudah dicerna dan lucu. Namun, terkadang adapula komik yang
mengedepankan unsur serius atau misterius dalam alur ceritanya. Dalam kajian
semiotika sendiri fungsi tanda dan simbol sangat melekat dalam komik, tetapi
sebelum terjun langsung dalam kajian hendaknya kita mengumpulkan terlebih
dahulu data guna menghasilkan penafsiran yang komplek terhadap hasil kajian
tersebut.
Menurut Putra (dalam sobur, 2013:136)
menambahkan dengan memandang suatu karya seni sebagai sebuah teks , maka
pemaknaan terhadap kesenian ini sepenuhnya berada di tangan peneliti, dan untuk
memahami teks kesenian tersebut, si peniliti dapat menggunakan berbagai macam
perangkat konsep yang dianggapnya akan dapat membuatnya lebih paham, lebih
dapat memberikan tafsir yang tepat atas teks tersebut. Boneff (dalam Alex
Sobur, 2013:137) membagi dua jenis komik yaitu comic-strips dan comic-books.
Comic strip merupakan komik yang
bersambung yang dimuat dalam surat kabar. Adapun comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu
atau lebih judul dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku
komik. Sejalan dengan pendapat tersebut komik memiliki cabang-cabang lainnya.
Kartun dan karikatur termasuk ke dalam komik.
Menurut Alex Sobur (2013:138) berpendapat
bahwa sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan
humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun, biasanya kita sebut
sebagai kartun. Sedangkan gambar lelucon yang membawa pesan kritik sosial
sebagaimana kita lihat di setiap ruang opini surat kabar, kita sebut karikatur.
Sebagai contoh pada detective conan,
banyak sekali episode yang terjadi dalam komik ini. Tentunya peranan tanda dan
simbol berbeda-beda di setiap episodenya.
1.5 Arsitektur
Merupakan rancangan suatu bangunan yang didesain menurut pandangan masing-masing orang. Menurut Eco (Noth,2006:443) semiotik arsitektur merupakan suatu cabang semiotik komuniaksi visual yang berkaitan erat dengan estetika, dengan semiotika objek, dan dengan proksemika, semiotika ruang. Banhart CL. Dan Jess Stein (dalam internet) mengatakan bahwa arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan. Claudil (dalam internet) juga menambahkan bahwa arsitektur adalah sesuatu yang bersifat personal, menyenangkan dan memerlukan pengalaman. Arsitektur adalah hasil persepsi dan penghargaan manusia terhadap ruang dan bentuk. Ada tiga pengalaman arsitektur: aspek fisikal, emosional dan kebutuhan intelektual. Sehingga menurut pemakalah arsitektur sendiri adalah seni tentang dekorasi rumah.
Merupakan rancangan suatu bangunan yang didesain menurut pandangan masing-masing orang. Menurut Eco (Noth,2006:443) semiotik arsitektur merupakan suatu cabang semiotik komuniaksi visual yang berkaitan erat dengan estetika, dengan semiotika objek, dan dengan proksemika, semiotika ruang. Banhart CL. Dan Jess Stein (dalam internet) mengatakan bahwa arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan. Claudil (dalam internet) juga menambahkan bahwa arsitektur adalah sesuatu yang bersifat personal, menyenangkan dan memerlukan pengalaman. Arsitektur adalah hasil persepsi dan penghargaan manusia terhadap ruang dan bentuk. Ada tiga pengalaman arsitektur: aspek fisikal, emosional dan kebutuhan intelektual. Sehingga menurut pemakalah arsitektur sendiri adalah seni tentang dekorasi rumah.
Menurut Sipek (dalam Wilfred North,2006:443) berpendapat bahwa semiotik
dapat memecahkan berbagai persoalan praktik arsitektur dengan menunjukkan
berbagai macam interpretasi dan begitu juga dengan menempatkan manusia di
tengah-tengah perhatian arsitektur. Dalam bidang semiotik sendiri material yang
mendukung juga tergolong dalam semiotika, terlepas dari fungsi material tersebut.
Eco (dalam Wilfred North,2006:444) mengatakan bahwa atap dan jendela sebagian besar
bangunan kontemporer memerankan berbagai fungsi primer semacam ini seperti
memberikan perlindungan terhadap hujan dan menyediakan cahaya. Maka, jika
bentuk dan tata ruangan terjadi secara bagus maka aspek semiotikanya maka akan
terlihat lebih jelas.
1.6 Lukisan
Lukisan merupakan bentuk visualisasi dari sebuah perasaan maupun
penglihatan yang sengaja pelukis ciptakan guna penyampaian sebuah ekspresi.
Soedarso (dalam internet) mengartikan bahwa lukis merupakan cabang dari seni
rupa yang cara pengungkapannya diwujudkan melalui karya dua dimensional dimana
unsur - unsur pokok dalam karya dua dimensional adalah garis dan warna. Mengapa
lukisan juga termasuk dalam kajian semiotik, karena bisa kita cermati secara
perlahan bahwa dalam semiotik sendiri kita pastinya mengenal pengertian dari
garis dan warna itu sendiri. Dan di mana keduanya tergolong dalam ikon, dan
ikon sendiri masuk ke dalam sub pembahasan tanda. Tanpa pelukis sadari, ketika
masih dalam sketsa awal dan membentuk sebuah garis-garis atau pun titik
tersebut sudah termasuk ke dalam semiotik, dan ditambah lagi dari peran warna
yang membuat unsur garis tersebut bisa nampak lebih muncul.
1.7 Citra
Merupakan sebuah fenomena mental yang tercipta akibat proses ikonis. Maksudnya, ketika kita mengkaji tentang ikon/keikonikan maka citra tersebut akan muncul. Meskipun banyak orang yang mempersamakan antara ikon dengan citra, namun ikon sendiri cakupannya lebih rumit. Menurut Pierce (dalam Wilfred North, 2006:454) ikon minimal mencakup kelas tanda yang lebih luas oleh kemiripan yang mencakup tanda-tanda oleh saluran nonvisual. Artinya, peran ikon disini jauh lebih luas ketimbang citra. Sebagai contoh, ketika kita menikmati sebuah pemandangan lukisan secara sikap mental kita mengagumi maupun menanggapi menurut perasaan individu masing-masing, peran semiotik dalam hal ini adalah tanda apa yang dapat kita rasakan ketika kita melihat lukisan tersebut. Bisa saja kita merasa senang dan ingin menggambar seperti dengan lukisan tersebut, namun bisa pula kita tidak menyukai lukisan tersebut. Tinggal bagaimana kita dapat memaknai sebuah karya seni atau suatu tulisan tersebut.
Merupakan sebuah fenomena mental yang tercipta akibat proses ikonis. Maksudnya, ketika kita mengkaji tentang ikon/keikonikan maka citra tersebut akan muncul. Meskipun banyak orang yang mempersamakan antara ikon dengan citra, namun ikon sendiri cakupannya lebih rumit. Menurut Pierce (dalam Wilfred North, 2006:454) ikon minimal mencakup kelas tanda yang lebih luas oleh kemiripan yang mencakup tanda-tanda oleh saluran nonvisual. Artinya, peran ikon disini jauh lebih luas ketimbang citra. Sebagai contoh, ketika kita menikmati sebuah pemandangan lukisan secara sikap mental kita mengagumi maupun menanggapi menurut perasaan individu masing-masing, peran semiotik dalam hal ini adalah tanda apa yang dapat kita rasakan ketika kita melihat lukisan tersebut. Bisa saja kita merasa senang dan ingin menggambar seperti dengan lukisan tersebut, namun bisa pula kita tidak menyukai lukisan tersebut. Tinggal bagaimana kita dapat memaknai sebuah karya seni atau suatu tulisan tersebut.
1.8 Fotografis
Menurut
Amir Hamzah Sulaeman (dalam internet) mengatakan bahwa fotografi berasal dari
kata foto dan grafi yang masing-masing kata tersebut mempunyai arti sebagai
berikut: foto artinya cahaya dan grafi artinya menulis jadi arti fotografi
secara keseluruhan adalah menulis dengan bantuan cahaya, atau lebih dikenal
dengan menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media
kamera dengan bantuan cahaya. Penulis menambahkan bahwa fotografi adalah sebuah
seni gambar dengan bantuan cahaya melalui media kamera. Kegiatan seperti ini
biasanya digunakan dalam visualisasi dari sebuah kegiatan, atau dokumentasi
dari apa yang sedang dilakukan pada saat itu. Kaitannya
fotografi dengan semiotika adalah di mana fotografi termasuk juga ke dalam ikon
dan indeks. Ikonnya dalam fotografi ditunjukkan bagaimana fungsi garis dan
warna itu sendiri berpengaruh terhadap hasil suatu potretan, sedangkan
indeksnya adalah hasil ketika foto tersebut jadi. Jika seumpama objek
pemotretan tersebut sedang tersenyum, maka indeks dalam foto tersebut
mengartikan bahwa objek tersebut sedang berada dalam posisi senang maupun di
posisikan senang.
Menurut Pierce (dalam Wilfred Noth,
2006:469) menambahkan foto sebagai ikon maupun sebagai indeks. Pada satu pihak
“dalam beberapa hal tertentu, foto benar-benar mirip objek-objek yang digambarkannya”, sedangkan pada sisi lain foto “dihubungkan
secara fisik” dengan objeknya, karena foto “secara fisik dipaksa untuk sama
secara detail dengan alam. “dari sudut pandang karakteristik materialnya.
2.2 Komunikasi Visual
Dalam kajian semiotika komunikasi visual merupakan
pemrosesan sebuah tanda dalam proses komunikasi yang bisa terlihat, berupa kode
eksplisit atau pun implisit. Kode eksplisit atau implisit disini dijelaskan
bahwa ada tanda-tanda visual yang tercipta karena memang ditujukan secara
lugas, namun adapula kode yang disajikan atas dasar rahasia, seperti proses
komunikasi yang dilakukan oleh waria. Di mana terdapat kode-kode tertentu yang
orang awam sulit untuk mengartikan. Tinarbuko (2008:X) menyatakan jika dilihat
dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuat ‘sistem
semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintak
(syntagm) yang khas, yang berbeda misalnya dari system semiotika seni. Di
dalam system semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’ yaitu
fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message)
dari sebuah pengirim pesan (sender)
kepada para penerima (receiver) tanda
berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.
C. Simpulan
Estetika merupakan persepsi yang dihasilkan dari keindahan
sebuah atau sesuatu benda yang dapat dirasakan oleh pancaindera. Estetika
sendiri bentuk kajian yang bercabang dari filsafat ilmu. Banyak sekali
ahli-ahli semiotika yang mengkaji estetika tersebut, mulai dari musik, film,
komik, iklan, lukisan, fotografi dan lain sebagainya. Mengapa seperti itu,
karena dalam estetika sendiri pun tidak jauh dari kata indeks maupun ikon. Di
mana kedua hal tersebut termasuk dalam kajian semiotika sendiri. Kemudia
tentang komunikasi visual sendiri adalah bentuk pengoperasian suatu tanda dalam
proses interaksi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi estetika dan
komunikasi visual sendiri sudah hal yang lumrah untuk dikaji dalam semiotika.
Daftar Rujukan
Ipang.2012. Pengertian
Lukis Menurut Beberapa Ahli. [online] diakses tanggal 15 Mei 2014. http://www.lepank.com/2012/07/pengertian-lukis-menurut-beberapa-ahli.html
Martinet,
Jeanne.2010.Semiologi.Yogyakarta:Jalasutra.
Noth,
Wilfried.2006.Semiotik.Surabaya:Airlangga
University Press.
Sobur,
Alex.2013.Semiotika Komunikasi.Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya.
Tinarbuko,
Sumbo.2008.Semiotika Komunikasi Visual.Yogyakarta:Jalasutra
Udayana,
Bagus Gede.2010.Pengertian Fotografi dan
Foto Jurnalistik. [online] diakses pada tanggal 15 Mei 2014.
http://dkv.isi-dps.ac.id/berita/pengertian-fotografi-dan-foto-jurnalistik.
Wijanarko, Agung. 2013. Pengertian
Arsitektur Menurut Beberapa Ahli.[online] diakses tanggal 15 Mei 2014.
http://architectureinhand.blogspot.com/2013/02/pengertian-arsitektur-menurut-para-ahli.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar