Sampailah
aku tepat dipelataran rumah bibiku, dengan joglonya kami dipangku menuju
singgasana peristirahatan. Ku sandarkan pula punggungku pada dinding-dinding
kayu khas rumah desa. Rumah bibiku ini kira-kira 20 KM dari seberang keramaian,
jauh menjorok ke kaki gunung. Rumput dan ilalang berlomba-lomba untuk saling
menghimpit rumah bibi. Yah, aku senang sekali jika acap kali liburan kesini,
memang sih rumah bibi tidak begitu mewah. Namun disini lah aku menemukan
keasrian hidup.
Walaupun
rumah kuno, rumah bibiku ini masih sangat terawat. Tongkat-tongkat raksasa
masih kukuh menopang langit-langit rumah ini. Pagar kayunya pun masih dengan
setia melingkar memutari rumah bibi dengan tampilan yang bagus. Belum lagi
ketika kita masuk ke dalam rumahnya nampak banyak sekali lukisan,
pahatan-pahatan kayu dan batu yang sengaja dibuat oleh paman. Sartini, nama
bibiku. Kasmin, nama pamanku. Mereka tinggal selama 15 tahunan di rumah
sederhana ini.
Bibiku
dikenal santun di desa ini, ramah kepada tetangga-tetangga sekitar. Begitu pula
dengan pamanku. Beliau tampak berwibawa dan taat beribadah. Acap kali waktu
sembayang tiba, beliau bergegas berlari menuju langgar untuk menyerukan suara
adzan. Lengkap dengan kemeja, sarung dann peci melesak menutupi rambut-rambut
berubannya tersebut.
Sore
ini aku berencana jalan-jalan mengitari desa ini, dengan Maripah. Anak bibi.
Mar,
ayok ajak aku jalan-jalan dong? Keliling desa kamu ini.”pintaku.
Heem,
iyah Sar. Cepat sampean mandi terus segera kita jalan-jalan.”jawabnya.
Iyah
Mar.”jawabku bersemangat.
Tak
berapa lama kami pun beranjak pergi. Hawa segar masih kental sekali di desa
ini. Kesejukkan nampak tak mau beranjak memeluk kampung yang asri ini. Apalagi
kalau musim hujan tiba, aku pasti merasakan sepeti tinggal di kutub utara.
Kalau malam, tokek dan katak pun bersaut-sautan menyanyikan lagu dalam
bahasanya masing-masing. Namun, yang tak kusuka dari desa ini adalah para
pemudanya. Mereka lebih senang duduk menganggur, bermain kartu dengan kumpulan
uang mulai dari uang yang bersorban sampai yang memakai peci tergolek melayani
nafsu duniawi para pemuda desa ini. Memang terkenal malas-malas pemuda-pemuda
desa ini.
Pernah
seketika ku berjalan sendirian, kalau tidak salah sih sekitar pukul 10 pagi.
Waktu aku melintasi ladang yang amat sepi sekali, aku memergoki dua pemuda desa
yang sedang menggauli seorang gadis. Gadis tersebut seumuran SMA, nampak wajah
pucat dan pasrah yang timbul dari gadis itu. Sedang dua pemuda itu dengan
asyiknya menikmati setiap lekuk tubuh gadis malang tersebut. Sampai nafsu
mereka terpenuhi barulah mereka menggeletakkan gadis itu dengan seenaknya.
Untung saja pada waktu itu aku bersembunyi pada saat yang tepat. Tubuhku yang
kecil memudahkan aku untuk merunduk dibalik ilalang-ilalang yang tak jauh dari
kedua pemuda tersebut. Kalau tidak, bisa-bisa aku juga menjadi korban
selanjutnya. Makannya kali ini aku mengajak Maripah untuk menemaniku
jalan-jalan.
Tiap
langkah kaki berjalan, ku selalu berpapasan dengan gadis atau pun ibu-ibu desa
sini membawa kendil yang ditopangkannya di atas kepala mereka masing-masing.
Entah aku tak bisa membayangkan bagaimana beratnya membawa air-air itu. Gadis
yang seharusnya seumuran mereka bisa bermain , kali ini harus membantu ibunya
di rumah. Bukan saja pada berat air tersebut, tapi juga jalanan yang sangat
jauh rela mereka tempuh demi mendapatkan segelintir air.
Setengah
jam kami lalui, kami hendak balik menuju rumah. Tiba-tiba kami terkejut.
Terlihat orang-orang pada berkerumunan disebuah rumah. dan mobil-mobil aparat
berjejeran. Kami pun berlari-lari ingin tahu.
Ada
apa? Ada apa pak buk?”tanyaku.
Ada
penggerebekkan judi nduk, banyak sekali yang kena ringkus!”tindasnya.
Tak
selang berapa lama, aku dan maripah nampak terkejut. Kasmin juga diseret menuju
mobil aparat negara. Aku menoleh ke wajah maripah, dia tampah sedih, murung,
dan tampak topeng kemarahan tak bisa terelakkan dari wajahnya. Ia tak
menyangka. Ayahnya yang ia kenal selama ini dengan kepribadian baik juga ikut
dalam permainan haram ini. Dengan meneteskan banyak sekali air mati, aku dan
maripah pulang. Dengan raut dan perasaan hancur. Pemuda dan tetua yang sama.
Pemalas desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar