Rabu, 24 September 2014

Turun-temurun


Sampailah aku tepat dipelataran rumah bibiku, dengan joglonya kami dipangku menuju singgasana peristirahatan. Ku sandarkan pula punggungku pada dinding-dinding kayu khas rumah desa. Rumah bibiku ini kira-kira 20 KM dari seberang keramaian, jauh menjorok ke kaki gunung. Rumput dan ilalang berlomba-lomba untuk saling menghimpit rumah bibi. Yah, aku senang sekali jika acap kali liburan kesini, memang sih rumah bibi tidak begitu mewah. Namun disini lah aku menemukan keasrian hidup.
Walaupun rumah kuno, rumah bibiku ini masih sangat terawat. Tongkat-tongkat raksasa masih kukuh menopang langit-langit rumah ini. Pagar kayunya pun masih dengan setia melingkar memutari rumah bibi dengan tampilan yang bagus. Belum lagi ketika kita masuk ke dalam rumahnya nampak banyak sekali lukisan, pahatan-pahatan kayu dan batu yang sengaja dibuat oleh paman. Sartini, nama bibiku. Kasmin, nama pamanku. Mereka tinggal selama 15 tahunan di rumah sederhana ini.
Bibiku dikenal santun di desa ini, ramah kepada tetangga-tetangga sekitar. Begitu pula dengan pamanku. Beliau tampak berwibawa dan taat beribadah. Acap kali waktu sembayang tiba, beliau bergegas berlari menuju langgar untuk menyerukan suara adzan. Lengkap dengan kemeja, sarung dann peci melesak menutupi rambut-rambut berubannya tersebut.
Sore ini aku berencana jalan-jalan mengitari desa ini, dengan Maripah. Anak bibi.
Mar, ayok ajak aku jalan-jalan dong? Keliling desa kamu ini.”pintaku.
Heem, iyah Sar. Cepat sampean mandi terus segera kita jalan-jalan.”jawabnya.
Iyah Mar.”jawabku bersemangat.
Tak berapa lama kami pun beranjak pergi. Hawa segar masih kental sekali di desa ini. Kesejukkan nampak tak mau beranjak memeluk kampung yang asri ini. Apalagi kalau musim hujan tiba, aku pasti merasakan sepeti tinggal di kutub utara. Kalau malam, tokek dan katak pun bersaut-sautan menyanyikan lagu dalam bahasanya masing-masing. Namun, yang tak kusuka dari desa ini adalah para pemudanya. Mereka lebih senang duduk menganggur, bermain kartu dengan kumpulan uang mulai dari uang yang bersorban sampai yang memakai peci tergolek melayani nafsu duniawi para pemuda desa ini. Memang terkenal malas-malas pemuda-pemuda desa ini.
Pernah seketika ku berjalan sendirian, kalau tidak salah sih sekitar pukul 10 pagi. Waktu aku melintasi ladang yang amat sepi sekali, aku memergoki dua pemuda desa yang sedang menggauli seorang gadis. Gadis tersebut seumuran SMA, nampak wajah pucat dan pasrah yang timbul dari gadis itu. Sedang dua pemuda itu dengan asyiknya menikmati setiap lekuk tubuh gadis malang tersebut. Sampai nafsu mereka terpenuhi barulah mereka menggeletakkan gadis itu dengan seenaknya. Untung saja pada waktu itu aku bersembunyi pada saat yang tepat. Tubuhku yang kecil memudahkan aku untuk merunduk dibalik ilalang-ilalang yang tak jauh dari kedua pemuda tersebut. Kalau tidak, bisa-bisa aku juga menjadi korban selanjutnya. Makannya kali ini aku mengajak Maripah untuk menemaniku jalan-jalan.
Tiap langkah kaki berjalan, ku selalu berpapasan dengan gadis atau pun ibu-ibu desa sini membawa kendil yang ditopangkannya di atas kepala mereka masing-masing. Entah aku tak bisa membayangkan bagaimana beratnya membawa air-air itu. Gadis yang seharusnya seumuran mereka bisa bermain , kali ini harus membantu ibunya di rumah. Bukan saja pada berat air tersebut, tapi juga jalanan yang sangat jauh rela mereka tempuh demi mendapatkan segelintir air.
Setengah jam kami lalui, kami hendak balik menuju rumah. Tiba-tiba kami terkejut. Terlihat orang-orang pada berkerumunan disebuah rumah. dan mobil-mobil aparat berjejeran. Kami pun berlari-lari ingin tahu.
Ada apa? Ada apa pak buk?”tanyaku.
Ada penggerebekkan judi nduk, banyak sekali yang kena ringkus!”tindasnya.
Tak selang berapa lama, aku dan maripah nampak terkejut. Kasmin juga diseret menuju mobil aparat negara. Aku menoleh ke wajah maripah, dia tampah sedih, murung, dan tampak topeng kemarahan tak bisa terelakkan dari wajahnya. Ia tak menyangka. Ayahnya yang ia kenal selama ini dengan kepribadian baik juga ikut dalam permainan haram ini. Dengan meneteskan banyak sekali air mati, aku dan maripah pulang. Dengan raut dan perasaan hancur. Pemuda dan tetua yang sama. Pemalas desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar